Malam tak bisa jadi kawan ketika rintik
hujan menginjak bumi tanpa kaki. Meski bunyi-bunyi liar berhamburan,
menancapkan hujan tanya getarkan jiwa, biar terpendam, terpasung dalam
gemuruh langit yang menjerit. Meneriakan
kelam gelisahku–diantara remang rembulan tertutup awan. Dijilat
kilat-lidah api yang membakar, kemudian redup dan padam seiring
bergulirnya waktu yang tak pernah menunggu.
Meski lukaluka datang melintang,
membentang rintang–jalan bergantian mengisi detik yang mematik. Namun,
mata anak-anak panah senantiasa kubidikan terarah, terasah disetiap
desah nafas yang terhempas, menghisap lekuk kehidupan yang tertakhluk
oleh kenyataan dipelataran dada, dan siap meluap jadi bait-bait
senderhana mengalir diantara syairnya, membentuk diri jadi sebuah puisi
walau tak jadi.
Mungkin, harus kuseka gelap malam ini dan
menidurkan resah diantara fajar yang mekar. Walau degup jantung tak
berhenti, biarlah berdenyut sebagai pertanda; masih ada kehidupan
disini, di tempat ini, tempat bersekutunya arang dan parang dalam
persenggamaan, dunia tak berjarak, tanpa sekat bergerak menelusup
dimensi jiwa–yang mungkin suatu kali nanti tersesat dan berkhianat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar